Thursday, January 10, 2008

“Apa sih indikator kita ini di jalur benar menuju sukses di akhirat?”

Pertanyaan yang sulit. Sebab tidak ada orang di jaman ini yang berhak memberi status, apakah kita sedang menuju sukses akhirat, atau menjauhinya. Dulu di jaman Rasulullah Muhammad, beliau beberapa kali (sebagai bentuk pengajaran) memberi status ke beberapa sahabat, si anu masuk surga, si fulan masuk neraka. Ilmu itu ada di beliau. Lalu di jaman sekarang ini kita harus berpegang pada indikator apa?

Indikator ini semestinya adalah sebuah indikator praktis yang bisa kita pantau sendiri, persis seperti speedometer di sepeda motor atau mobil kita. Jadi kita tidak perlu orang lain yang memberi analisisnya buat kita. Percayalah, orang lain itupun sebaiknya memantau indikatornya sendiri daripada sibuk memantau indikator kita. Dia punya problem yang sama dengan kita.

Saya yakin indikator ini penting. Saya sering merasa bahwa pada waktu tertentu, misalnya saat bulan puasa ini, sepertinya banyak orang ‘mendadak jadi shaleh’. Sehingga kadang dalam hati ini juga agak malu dengan diri sendiri. Yang tadinya jarang ke mesjid, tiba-tiba semangat untuk tarawih. yang tadinya jarang mendengarkan pengajian, tiba-tiba hobi dengan ceramah dan lagu ruhani. Kemudian lebaran tiba, sibuk silaturahmi (sambil pamer ponsel), dan hilang kembali keshalehan mendadak tersebut. Nah loh.

Berarti pencapaian perilaku saat puasa itu sangat sesaat, bukan indikator yang praktis. Itu ibarat orang dapat proyek besar, lalu dapat uang banyak. Sekejap dia menjadi orang kaya yang sukses finansial. Lalu sibuk belanja. Lalu tak lama kemudian kembali menjadi orang yang punya hutang. Kekayaannya yang sekejap hanyalah indikator semu. Semestinya kita berpegang pada ‘wealth ratio’ itu, yang tak begitu kelihatan namun jauh lebih esensial.

Seseorang boleh tampak sederhana, baju biasa saja, rumah biasa saja, kendaraan hanya sepeda motor. Tapi orang ini merdeka karena pasif income nya melebihi pengeluarannya setiap bulan. Orang ini kaya. Sebaliknya seseorang punya mobil mewah, rumah keren, dengan gaya hidup yang mewah. Tapi pasif income nya nol besar. Jelas yang ini cuman ‘kelihatan’ kaya, aslinya sih miskin.

Demikian juga dengan amalan itu, jangan-jangan keshalehan mendadak di bulan puasa itu akhirnya hanya indikator yang melenakan. Merasa sudah akan sukses di akhirat, eh ternyata masih termasuk yang dimurkai Tuhan. Demikian pula dengan yang bolak-balik umroh maupun haji berkali-kali, jangan-jangan ya ditolak semua ibadahnya itu.

Jadi apa ya, indikator yang tepat bahwa kita ini (kira-kira) menuju kesuksesan di akhirat?
Sejauh ini, walau belum intensif dicari, jawabannya pasti ada di Qur’an dan hadits. Mari kita cari yang praktis, yang setiap saat dengan mudah kita bisa mengukurnya tanpa harus minta tolong orang lain memberi evaluasi buat kita.

Dulu sekali waktu membaca buku Al Ghazali tentang rahasia shalat, ada satu hal yang melekat dalam benak ini. Kata Al Ghazali, kalau kita ingin bangun malam shalat tahajud, maka syaratnya adalah hari sebelumnya tidak melakukan maksiat. Kalau kita bersih, maka bangun menjadi mudah. Kalau ada maksiat, maka bangun menjadi sulit. Pengalaman sih, Al Ghazali benar.

Rasanya memang ada hubungan sebab akibat yang kuat antara kualitas amal sebelumnya dengan kemudahan amal berikutnya. Berarti kalau makin lama makin nyaman beramal shaleh (shalat, sedekah, mengajar ilmu, bekerja dengan tulus, tidak ngerumpiin orang lain, dll) berarti kita di jalur yang benar. Tren nya bergerak naik, mestinya. Mungkinkah ini indikator yang tepat? Cara memberi skornya bagaimana ya?

Atau mungkin indikator yang lebih tepat adalah jumlah shalat khusyu yang kita rasakan? Katanya, khusyu itu karunia, sesuatu yang diberikan kepada kita yang ingin bersungguh-sungguh shalat. Mendapat khusyu itu ciri kita di jalur yang benar. Jadi kalau dalam satu hari kita sholat 5 kali dan tidak khusyu semua, berarti skor ’speedometer’ kita nol (sepertinya seringkali skor kita yang ini nih!). Kalau satu sholat saja kita rasakan khusyu maka skor kita 20 persen, kalau semuanya khusyu berarti sukses skor 100 persen. Skor berguna, seperti halnya angka-angka di speedometer. Walaupun mungkin skor kita naik turun, ya nggak papa, daripada tanpa skor sama sekali.

Sejauh ini kira-kira di sekitar itulah diduga letak indikator yang praktis untuk kita pantau sehari-hari. Semestinya indikatornya kombinasi, satu untuk hubungan kita langsung dengan Tuhan dan satu lagi untuk ibadah sosial, supaya menggambarkan amalan yang lebih luas. Misalnya, jumlah shalat khusyu dan persentase sedekah dari penghasilan.

Dua indikator ini cukup praktis karena mudah memantaunya dan dapat dibuat menjadi skor. Tentu saja ini buat diri sendiri, jadi terserah masing-masing untuk membuat indikator sendiri. Yang jelas, tanpa indikator akan berakibat hidup ini menjadi sulit diarahkan, lalu bisa terjadi kita terkejut dan menyesal di kemudian hari, ketika telah tiba masa kita nanti untuk berpulang.

Indikator, kawan, indikator… mari kita cari untuk menyelamatkan diri kita masing-masing dalam menempuh ujian singkat yang hanya 0,15 detik kosmik di dunia ini.


dikutip dari :http://sepia.blogsome.com/

No comments: