Tuesday, January 29, 2008

happy ... or Un happy















Kurasa aku kembali hidup bersama bintang,
mereka begitu damai dan tenang,
Aku terpukau memandang mereka lama dan lamaa sekali...
Mereka tidak dalam kegelapan dan meratapi dosa mereka,
Mereka tidak membuatku muak dengan ocehan
mengenai ketaatan terhadap Tuhan,
Tak ada yang mengeluh, tak satupun yang didera
keinginan memiliki sesuatu,
Tak satupun menyembah yang lainnya,
Juga tidak menyembah sesamanya yang hidup beribu tahun
yang lalu...
Tak satupun patut di hormati atau tidak merasa bahagia
di pelataran bumi


-walt whitman-

Thursday, January 10, 2008

Shalat khusyu’ itu mudah dan saaangat nikmat

Shalat shubuhku kali ini ternyata berjalan 1 jam tanpa merasa lelah! Dan sepanjang shalat aku menangis. Saya yakin, yakin sekali, Anda juga akan merasakannya. Seperti juga telah dirasakan banyak orang yang mengikuti petunjuk sederhana ini.

Kemarin saya ke Gramedia untuk mencari buku-buku kata-kata mutiara dan buku Marwah Daud yang berjudul HMMD. Buku-buku kata mutiara sudah didapatkan, buku HMMD nya tidak ada. Sambil melihat-lihat buku best seller, mata saya menangkap judul yang tengah saya cari. Pelatihan Shalat Khusyu’. Buku relatif tipis dengan harga lumayan mahal, 50 ribu.

Gambarnya orang sedang sholat di tepi danau, dengan nuansa sampul putih dan biru air. Ada cetakan emas tulisan “Best Seller” di sampulnya. Penulisnya Abu Sangkan, nama yang rasanya pernah dengar, entah dimana. Mungkin karena kata Sangkan Paraning Dumadi (Yang Dianggap -Sumber- Datangnya Kejadian), adalah sebutan bagi Allah dalam masyarakat Jawa. Ternyata nama Abu Sangkan karena dia punya anak dinamai Sangkan paraning Wisesa (sumber datangnya kebijaksanaan -mungkin begitu).

Buku itu saya baca sehabis Isya’ hingga larut malam. Selesai jam 11 malam. kalimat pertama yang mengesankan saya adalah komentar Marwah Daud, yang meyakini bahwa karunia terbesar dalam hidup ini bukanlah kakayaan dan jabatan, tapi adalah diberi karunia shalat yang khusyu’. Dia yakini ini berdasar surat Qur’an Surat Al Mukminun 1-2, “Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu’ dalam sholatnya.”
Silahkan baca sendiri isi dan tipsnya, tulisan ini bukan tentang itu, tapi tentang pengalaman saya ketika shalat subuh tadi pagi.

Setiap Ramadhan saya merasa ketinggalan kereta. Demikian pula dengan kereta I’tikaf 10 hari terakhir. Lagi-lagi luput, tiba-tiba sudah malam ke 22. Maka saya niatkan untuk tahajud dengan menerapkan metode sederhana sholat khusyu’.

Gagal. Saya bangun dengan malas sehingga sahur selesai saat masuk imsak. Ketika ambil wudlu, ternyata sudah masuk subuh. Akhirnya saya mencoba menerapkannya pada sholat sunnah sebelum saya ke masjid (baru hari ini pingin ke masjid, biasanya malas). Niat saya shalat sunnah di rumah, lalu segera ke masjid.

Gagal juga! Shalat sunnah saya terlalu lama sehingga (sambil masih shalat) terdengar masjid sudah memulai shubuhnya. Ya sudah saya lanjutkan terus sunnah saya. Pelan-pelan. Sambil sangat rileks, seperti tips dalam buku itu. Subhanallah! Shalat sunnah ini begitu enaknya, hingga lama seperti seakan shalat wajib. Shalatnya terganggu ketika ponsel berbunyi karena ada SMS masuk. Bunyi terus-menerus mengingatkan saya bahwa ada message yang belum dibaca. Duh, kesal rasanya hati harus mempercepat shalat hanya untuk mematikan handphone.

Lalu saya mulai shalat shubuh. Dengan sedikit kurang yakin bahwa akan mendapat kenikmatan seperti shalat sunnah tadi. Saya menyantaikan diri. Rileks. Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya. Tips yang sangat sederhana, tapi ini bagi saya adalah lompatan paradigma!

Maka saya bersikap rileks. Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana kain basah yang dipegang ujungnya dari atas. Berat badan mengumpul di kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.

Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.

Lalu saya mulai bertakbir, Allahu Akbar. Dan selanjutnya saya baca dengan pelan-pelan. Karena bacaan shubuh harus diucapkan agak keras, maka saya rendahkan suara saya. Pelan sesuai tips buku itu, rendah suara karena -jujur- saya agak malu kalau suara saya terdengar istri saya yang sedang tiduran. Rasanya seperti baru belajar sholat lagi. Saya berdiri lama, banyak berhenti kalau memang sedang tidak ingin baca. Saya meresapi kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Saya sedang menemuiNya sekarang. Saya, ruh saya tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan fisik.

Break sebentar. Pernah sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Saya pernah, dan jujur saya kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’. Saya mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal. Dan seterusnya. Saya kesal karena irama kecepatan sholat kami berbeda. Dia - menurut saya- terlalu cepat.

Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.

Berikan kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil sikap sholatnya. Dia agak lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku” kita itu, bukan untuk badan fisik kita.
Maka saya shalat dengan sangat pelan. Santai. kalau sedang malas baca, saya diam saja. menikmati kepasrahan saya hadir menemui Tuhan. Saya baca bacaan sholat dengan pelan. Saya mencoba berdialog, dan itulah memang esensi sholat.

Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.
Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.

Saat ruku’ saya ruku’ lama, sambil menarik regang kaki dan punggung saya. Nikmati saja seperti menikmati peregangan bila senam. Saat sujud, saya tumpukan kepala sebagai tumpuan utama. Nikmat rasanya ‘terpijat’ dahi ini oleh gerak sujud. Saat ruh telah ikut sujud, saya baca dengan penghayatan, “Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih” (Maha Suci Engkau yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). Rasanya nikmat sekali sujud lama.

Lalu, lalu saya duduk setelah sujud. Saya baca sepotong-sepotong bacaannya, sesuai tips buku itu. Robbighfirlii (Ya Tuhan ampunilah aku). Lalu saya diam. Tiba-tiba keluar sendiri air mata, saya menangis karena menyadari betapa dalam makna kalimat pengaduan ini. Kita minta secara langsung untuk dimaafkan . Ruh kita meminta secara langsung, dan Allah menjawabnya. Saya menangis. Ruh saya, kita yang sejati, menangis. War hamnii (dan sayangilah aku), air mata itupun tumpah. Wajburnii. Diam. War fa’nii. Diam. Saya tak terlalu yakin arti yang saya baca. Tapi saya makin menangis. Warzuqnii (beri rizki padaku -Ya Allah), air mata saya tumpah, betul-betul saya tiba-tiba sadar bahwa selama ini saya mengejar-ngejar rizki tapi tidak serius mengakui itu dariNya, lalu saat ini saya sedang memintanya langsung! Wahdinii (tunjukilah aku -karena aku sedang bingung dan tak tahu). Diam, saya menangis. Wa’aafinii (dan sehatkan aku -aku yang sedang sakit pilek). Wa’fuannii (dan maafkan aku- yang banyak dosa ini). Saya duduk lama sekali. Sambil mengusap air mata yang bercucuran.

Shalat shubuh dua rakaat ini panjang. Ditutup dengan tasyahud yang menggetarkan. Apalagi ketika membaca “Assalaamu’alainaa wa ‘alaa ibaadillahisshoolihiin” (keselamatan mohon dikaruniakan kepada kami -para ruh yang sedang menemuiMu- dan atas ruh-ruh ahli-ahli ibadah yang sholih). Saya menangis terus-menerus, sehingga berulang kali mengusap lendir yang keluar dari hidung.

Setelah shalat, sesuai dengan tips buku itu, saya mulai berdoa dengan meratap. Saya ucapkan hanya, “Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…”, sambil mengangkat tangan setinggi wajah seperti seorang pengemis yang meminta-minta. Berkali-kali, hingga hati saya siap berdoa. Saya ingat buku Al Ghazali dulu saya baca, sekitar 15 tahun lalu, yang berjudul Rahasia Shalat. Salah satu poin yang saya ingat adalah, kalau kita ingin dekat Allah maka kita harus sungguh-sungguh memanggilnya laksana seorang anak kecil yang ketakutan karena ada ular atau bahya, lalu memanggil-manggil ayahnya, “Ayah… Ayah… Ayah…”, maka ayahnya pasti datang dengan seruan itu dan melindungi anak tersebut. Demikianlah kalau kita ingin bebas dari maksiat, kata Al Ghazali, maka kita harus panggil dengan betul-betul ketakutan akan maksiat tersebut, kita panggil pelindung kita dengan sungguh-sungguh seakan anak kecil memanggil-manggil ayahnya, maka akan dilindungi kita dari maksiat tersebut.

Lalu saya berdoa, dengan masih terus menangis. Saya merasa mengadu dan masih mengadu di depan Tuhan secara langsung. Saya mengikhlaskan apapun jawaban dari doa saya tersebut.
Saya bahagia bisa merasakan sholat seperti itu. Tidak akan tergantikan dengan uang dan kemewahan dunia lainnya.

Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Cerita berhalaman-halaman tidak akan mampu melukiskan hal itu. Silahkan coba sendiri, rasakan sendiri, menagislah mengadu kepada Allah sendiri. Saya cuman mau berbagi cerita, dengan kekahwatiran saya kehilangan rasa yang sama di sholat berikutnya (insya Allah mudah-mudahan tidak akan hilang).

Problem yang sekarang muncul, tampaknya akan sulit lagi saya menikmati sholat kilat, di belakang imam yang irama sholatnya lebih cepat dari saya. Apakah saya perlu sholat sendiri dulu beberapa waktu ini?

Buku itu berjudul Pelatihan Shalat Khusyu’ : Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam. Abu Sangkan, Penerbit Baitul Ihsan (masjidnya Bank Indonesia), cetakan kelima Mei 2005 (cetakan pertamanya Agustus 2004). Websitenya : www.dzikrullah.com

dikutip dari http://khairulu.blogsome.com/

“Apa sih indikator kita ini di jalur benar menuju sukses di akhirat?”

Pertanyaan yang sulit. Sebab tidak ada orang di jaman ini yang berhak memberi status, apakah kita sedang menuju sukses akhirat, atau menjauhinya. Dulu di jaman Rasulullah Muhammad, beliau beberapa kali (sebagai bentuk pengajaran) memberi status ke beberapa sahabat, si anu masuk surga, si fulan masuk neraka. Ilmu itu ada di beliau. Lalu di jaman sekarang ini kita harus berpegang pada indikator apa?

Indikator ini semestinya adalah sebuah indikator praktis yang bisa kita pantau sendiri, persis seperti speedometer di sepeda motor atau mobil kita. Jadi kita tidak perlu orang lain yang memberi analisisnya buat kita. Percayalah, orang lain itupun sebaiknya memantau indikatornya sendiri daripada sibuk memantau indikator kita. Dia punya problem yang sama dengan kita.

Saya yakin indikator ini penting. Saya sering merasa bahwa pada waktu tertentu, misalnya saat bulan puasa ini, sepertinya banyak orang ‘mendadak jadi shaleh’. Sehingga kadang dalam hati ini juga agak malu dengan diri sendiri. Yang tadinya jarang ke mesjid, tiba-tiba semangat untuk tarawih. yang tadinya jarang mendengarkan pengajian, tiba-tiba hobi dengan ceramah dan lagu ruhani. Kemudian lebaran tiba, sibuk silaturahmi (sambil pamer ponsel), dan hilang kembali keshalehan mendadak tersebut. Nah loh.

Berarti pencapaian perilaku saat puasa itu sangat sesaat, bukan indikator yang praktis. Itu ibarat orang dapat proyek besar, lalu dapat uang banyak. Sekejap dia menjadi orang kaya yang sukses finansial. Lalu sibuk belanja. Lalu tak lama kemudian kembali menjadi orang yang punya hutang. Kekayaannya yang sekejap hanyalah indikator semu. Semestinya kita berpegang pada ‘wealth ratio’ itu, yang tak begitu kelihatan namun jauh lebih esensial.

Seseorang boleh tampak sederhana, baju biasa saja, rumah biasa saja, kendaraan hanya sepeda motor. Tapi orang ini merdeka karena pasif income nya melebihi pengeluarannya setiap bulan. Orang ini kaya. Sebaliknya seseorang punya mobil mewah, rumah keren, dengan gaya hidup yang mewah. Tapi pasif income nya nol besar. Jelas yang ini cuman ‘kelihatan’ kaya, aslinya sih miskin.

Demikian juga dengan amalan itu, jangan-jangan keshalehan mendadak di bulan puasa itu akhirnya hanya indikator yang melenakan. Merasa sudah akan sukses di akhirat, eh ternyata masih termasuk yang dimurkai Tuhan. Demikian pula dengan yang bolak-balik umroh maupun haji berkali-kali, jangan-jangan ya ditolak semua ibadahnya itu.

Jadi apa ya, indikator yang tepat bahwa kita ini (kira-kira) menuju kesuksesan di akhirat?
Sejauh ini, walau belum intensif dicari, jawabannya pasti ada di Qur’an dan hadits. Mari kita cari yang praktis, yang setiap saat dengan mudah kita bisa mengukurnya tanpa harus minta tolong orang lain memberi evaluasi buat kita.

Dulu sekali waktu membaca buku Al Ghazali tentang rahasia shalat, ada satu hal yang melekat dalam benak ini. Kata Al Ghazali, kalau kita ingin bangun malam shalat tahajud, maka syaratnya adalah hari sebelumnya tidak melakukan maksiat. Kalau kita bersih, maka bangun menjadi mudah. Kalau ada maksiat, maka bangun menjadi sulit. Pengalaman sih, Al Ghazali benar.

Rasanya memang ada hubungan sebab akibat yang kuat antara kualitas amal sebelumnya dengan kemudahan amal berikutnya. Berarti kalau makin lama makin nyaman beramal shaleh (shalat, sedekah, mengajar ilmu, bekerja dengan tulus, tidak ngerumpiin orang lain, dll) berarti kita di jalur yang benar. Tren nya bergerak naik, mestinya. Mungkinkah ini indikator yang tepat? Cara memberi skornya bagaimana ya?

Atau mungkin indikator yang lebih tepat adalah jumlah shalat khusyu yang kita rasakan? Katanya, khusyu itu karunia, sesuatu yang diberikan kepada kita yang ingin bersungguh-sungguh shalat. Mendapat khusyu itu ciri kita di jalur yang benar. Jadi kalau dalam satu hari kita sholat 5 kali dan tidak khusyu semua, berarti skor ’speedometer’ kita nol (sepertinya seringkali skor kita yang ini nih!). Kalau satu sholat saja kita rasakan khusyu maka skor kita 20 persen, kalau semuanya khusyu berarti sukses skor 100 persen. Skor berguna, seperti halnya angka-angka di speedometer. Walaupun mungkin skor kita naik turun, ya nggak papa, daripada tanpa skor sama sekali.

Sejauh ini kira-kira di sekitar itulah diduga letak indikator yang praktis untuk kita pantau sehari-hari. Semestinya indikatornya kombinasi, satu untuk hubungan kita langsung dengan Tuhan dan satu lagi untuk ibadah sosial, supaya menggambarkan amalan yang lebih luas. Misalnya, jumlah shalat khusyu dan persentase sedekah dari penghasilan.

Dua indikator ini cukup praktis karena mudah memantaunya dan dapat dibuat menjadi skor. Tentu saja ini buat diri sendiri, jadi terserah masing-masing untuk membuat indikator sendiri. Yang jelas, tanpa indikator akan berakibat hidup ini menjadi sulit diarahkan, lalu bisa terjadi kita terkejut dan menyesal di kemudian hari, ketika telah tiba masa kita nanti untuk berpulang.

Indikator, kawan, indikator… mari kita cari untuk menyelamatkan diri kita masing-masing dalam menempuh ujian singkat yang hanya 0,15 detik kosmik di dunia ini.


dikutip dari :http://sepia.blogsome.com/

Kiat sukses dunia akhirat dari Nabi

Malu rasanya sering mengutip kiat sukses dari orang barat. Maka yang ini kiat dari Rasulullah. Dijamin lebih mustajab. Saya kutip dari situs Renungan Islam.

HADIS MUTHAHHARAH

Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah! sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya Tanyalah apa yang engkau kehendaki :

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang alim
Baginda S.A.W menjawab : Takutlah kepada Allah maka engkau akan jadi orang yang alim

Dia berkata : Aku mau menjadi orang paling kaya
Baginda S.A.W menjawab : Jadilah orang yang yakin pada diri engkau maka engkau akan jadi orang paling kaya

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang adil
Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah manusia yang lain sebagaimana engkau kasih pada diri sendiri maka jadilah engkau seadil-adil manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang paling baik
Baginda S.A.W menjawab: Jadilah orang yang berguna kepada masyarakat maka engkau akan jadi sebaik-baik manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah
Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan zikrullah nescaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah

Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku
Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik)
Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat
Baginda S.A.W menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam golongan mereka yang taat

Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa
Baginda S.A.W menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa nescaya engkau akan menemui Allah dalam keadaan suci daripada dosa

Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya
Baginda S.A.W menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah cahaya

Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain nescaya Allah akan mengasihanimu pada hari qiamat

Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku
Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan beristighfar nescaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu

Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia
Baginda S.A.W menjawab : Jangan mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain nescaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia
Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa menyerah diri (tawakkal) kepada Allah nescaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia

Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah
Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) nescaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan rasulNya
Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka

Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain nescaya engkau akan terselamat daripada kemurkaan Allah dan rasulNya

Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku
Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah makanan haram nescaya segala permohonanmu akan diterimaNya

Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain nescaya Allah akan menutup keaibanmu pada hari qiamat

Dia berkata : Siapa yang terselamat daripada dosa?
Baginda S.A.W menjawab : Orang yang sentiasa mengalir air mata penyesalan,mereka yang tunduk pada kehendakNya dan mereka yang ditimpa kesakitan

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah?
Baginda S.A.W menjawab : Elok budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah?
Baginda S.A.W menjawab : Buruk akhlak dan sedikit ketaatan

Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ?
Baginda S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan kasih sayang

Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat?
Baginda S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah

komentar : tinggal pilih kiat mana yang sedang Anda perlukan saat ini.

dikutip dari : http://sepia.blogsome.com/

Puisi di Awal Tahun



Ya ALLAH,
KAU ciptakan waktu dalam dua sisi,
Siang & malam...

keduanya tetap dalam ritme Nafas kehidupan.
Bagi-MU tidak ada Tahun Baru ...
Yang ada adalah
Hari esok dan esok,
yang tiap ritmenya
Mengartikan berkurangnya usia kita


Selamat Tahun Baru Islam 1429 H